Yang
dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh
A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata
mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk
dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri
yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a
barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu’
disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang
mengerjakannya.[3]
Secara
istilah, yang dimaksud nikah mut’ah
adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka
berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[4]
Adapun
nikah mut’ah di kalangan para ahli fikih (fuqaha’) disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau
nikah inqitha’ (kawin terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini
wanita itu untuk jangka tertentu: sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan
perjanjian. Disebut nikah mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk
bersenang-senang dengan wanita untuk sementara waktu sampai batas yang
ditentukan.
Sementara
menurut Syi’ah Imamiyah, nikah mut’ah adalah apabila seorang wanita menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam
keadaan tidak ada hambatan apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram
dinikahi, sesuai dengan aturan hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab,
periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah atau
sebab lain yang merupakan hambatan yang
ditetapkan dalam agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan tersebut dapat
menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu sampai batas
waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara akad nikah
yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.
Kemudian
setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,”
atau ”Engkau kunikahkan,”atau ”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin
sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang
harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus
segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”[5]
B.
Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Nikah
mut’ah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah untuk satu hari,
satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai perjanjiannya.
Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya. Bila dalam akad
nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang
dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.[6] Nikah
mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal.
1.
Dalil al-Quran
Allah
berfirman:
Artinya:
(29) Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (30) kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela.(31) Barangsiapa mencari yang di balik itu,
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dari ayat diatas
diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu
nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan
pula budak.
Dengan itu, sangat jelas
bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan
istri dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a.
Tidak saling
mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b.
Idah nikah mut’ah
tidak seperti nikah biasa
c.
Dengan akad nikah
menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat
sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah
d.
Dengan melakukan
mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena wanita yang
diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu
tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka
termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di dalam firman Allah.[7]
2.
Dalil as-Sunnah
Pada
awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut’ah pada tahun penaklukan Makkah. Tapi
masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang mengatakan,
larangan nikah mut’ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada
tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan
daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu
Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan keledai piaraan sewaktu perang
Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk
dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah
satu di antaranya dengan perang Khaibar.[8]
Menurut
Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mut’ah telah dinasakh.Hal
dinyatakan dalam hadis berikut:
حدثنا محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى,
حدثنا عبد العزيز بن عمر, حدثني الربيع بن سبرةالجهني, أن أباه, حدثه أنه, كان مع
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم فى
الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شىء
فليحل سبيله ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا"[9]
(رواه مسلم)
Wahai
sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan
ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang
siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah, hendaklah ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka (HR. Muslim)[10]
Dari
dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mut’ah diperbolehkan
pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan tetapi pembolehan tersebut
sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu, sangat jelas
bahwa hukum nikah mut’ah ini haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal
itu berlaku sampai hari kebangkitan.
C.
Nikah Mut’ah Menurut Hukum Positif
Dalam
hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-undangan yang
berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:
1.
Pancasila,
terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil
dan beradab”;
2.
Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3.
Pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan,
”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”;
4.
Pasal
2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3
yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan un tuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Berdasarkan
4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan kepentingan pemerintah dalam
mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera dengan membuat
seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori
bahwa suatu negara dikatakan memiliki stabilitas
yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga
yang mantap. Hal ini sulit terwujud bila pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan
semacam nikah mut’ah. Karena itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah tegas
terhadap para pelaku nikah mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau
di luar instansi pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang
sejenisnya.
a.
Kesimpulan
·
Nikah
mut’ah merupakan nikah yang waktunya dibatasi untuk memenuhi hasrat nafsu atau
bersenang-senang.
·
Menurut
Syi’ah, nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan pada wanita yang diperbolehkan
untuk dinikahi dengan batasan waktu, kelompok tersebut membolehkannya sampai
sekarang.
·
Nikah
mut’ah hukumnya haram menurut empat imam madzhab, walaupun sebelumnya pernah
berstatus halal. Akan tetapi hal tersebut telah dinasakh. Begitu juga
jumhur ulama yang berairan sunni. Hukum positif di Indonesia juga senada dengan
hukum Islam.
b.
Saran
Dengan
dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang
diuraikan dalam makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan
dalam kehidupan untuk tidak melakukan nikah mut’ah. Penulis juga menyarankan
para pembaca yang budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta kritikan
terhada makalah yang penuh dengan kekurangan ini.
[1] A. Dzarrin
al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun,
Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 214-215
[2] Armen Halim
Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 1
[3] A. Dzarrin
al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun,
Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 217
[4] Armen Halim
Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 2
[5] A. Dzarrin
al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun,
Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 217
[6] Mutawalli M. Assya’rawi,
2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press hlm. 172
[7] Abd. Shomad,
2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Kencana Predana hlm. 312
[8] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, 2007, Zaadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta:
Pustaka Azzam hlm. 388
[9] Imam Nawawi,
1929, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Mesir: al-Mathba’ah
al-mishriyah bil-azhar, hlm: 186
[10] Abd. Shomad,
2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Kencana Predana hlm. 313
Terima kasih atas penjelasan tentang kawin kontrak yang lengkap dan mudah dipahami ini... Salam kenal
BalasHapus