Kamis, 14 Juni 2012

NIKAH MUT'AH MENURUT ISLAM DAN HUKUM POSITIF


A.    Definisi Nikah Mut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata  mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat  dengan sesuatu. Haji  tamattu’  disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[3]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[4]                                                                                         
Adapun nikah mut’ah di kalangan para ahli fikih (fuqaha’) disebut juga nikah  muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqitha’ (kawin terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini wanita  itu untuk jangka tertentu:  sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan wanita untuk sementara waktu sampai batas yang ditentukan.
Sementara menurut Syi’ah Imamiyah, nikah mut’ah adalah apabila seorang wanita  menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan tidak ada hambatan apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah atau sebab  lain yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan tersebut dapat menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya,  wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,”atau ”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”[5]

B.     Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Nikah mut’ah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.[6] Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal.
1.      Dalil al-Quran
Allah berfirman:
 Artinya: (29) Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (30) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.(31) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a.       Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b.      Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa
c.       Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah
d.      Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di dalam firman Allah.[7]

2.      Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut’ah pada tahun penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang mengatakan, larangan nikah mut’ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.[8]
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mut’ah telah dinasakh.Hal dinyatakan dalam hadis berikut:
حدثنا محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى, حدثنا عبد العزيز بن عمر, حدثني الربيع بن سبرةالجهني, أن أباه, حدثه أنه, كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شىء فليحل سبيله ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا"[9] (رواه مسلم)
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim)[10]
            Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mut’ah ini haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.

C.    Nikah Mut’ah Menurut Hukum Positif
Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:
1.             Pancasila, terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2.             Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3.             Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia  dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
4.             Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan un tuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan  rahmah”.
Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi  seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori bahwa suatu  negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga yang mantap. Hal ini sulit terwujud bila pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan semacam nikah mut’ah. Karena itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku nikah mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya.


a.        Kesimpulan
·         Nikah mut’ah merupakan nikah yang waktunya dibatasi untuk memenuhi hasrat nafsu atau bersenang-senang.
·         Menurut Syi’ah, nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan pada wanita yang diperbolehkan untuk dinikahi dengan batasan waktu, kelompok tersebut membolehkannya sampai sekarang.
·         Nikah mut’ah hukumnya haram menurut empat imam madzhab, walaupun sebelumnya pernah berstatus halal. Akan tetapi hal tersebut telah dinasakh. Begitu juga jumhur ulama yang berairan sunni. Hukum positif di Indonesia juga senada dengan hukum Islam.

b.        Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang diuraikan dalam makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan dalam kehidupan untuk tidak melakukan nikah mut’ah. Penulis juga menyarankan para pembaca yang budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta kritikan terhada makalah yang penuh dengan kekurangan ini.


[1] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 214-215

[2] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 1
[3] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 217
[4] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 2
[5] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 217
[6] Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press hlm. 172
[7] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 312
[8] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 2007, Zaadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam hlm. 388
[9] Imam Nawawi, 1929, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Mesir: al-Mathba’ah al-mishriyah bil-azhar, hlm: 186
[10] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 313

1 komentar:

  1. Terima kasih atas penjelasan tentang kawin kontrak yang lengkap dan mudah dipahami ini... Salam kenal

    BalasHapus